AKTUAL RIAU, Jakarta - Konflik di Timur Tengah, terutama yang melibatkan Israel, Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem, dan Lebanon Selatan, telah berlangsung tanpa solusi yang signifikan untuk menghentikannya.
Saat ini, Israel semakin agresif menyerang kelompok perlawanan yang mendukung kemerdekaan Palestina, seperti Hamas di Gaza, Houthi di Yaman, dan Hizbullah di Lebanon selatan. Menurut otoritas kesehatan Lebanon, sejak 23 September, aksi militer Israel telah menewaskan sedikitnya 492 orang, termasuk 35 anak-anak, dan melukai 1.645 orang.
Ribuan warga sipil terpaksa mengungsi. Di Gaza, lebih dari 41.400 warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, telah terbunuh, dan lebih dari 95.800 orang terluka, dengan banyak yang mengungsi akibat bencana kemanusiaan yang diperparah oleh blokade Israel.
Di Tepi Barat, setidaknya 710 warga Palestina tewas, dengan hampir 5.700 lainnya terluka akibat serangan pasukan Israel.
Israel juga menyerang Pelabuhan Alhudaydah di Yaman, menewaskan tiga orang dan melukai 87 lainnya dalam serangan udara yang menyusul serangan drone Houthi
Sementara itu, konflik juga berkecamuk di Rusia-Ukraina, di mana invasi Rusia menimbulkan jutaan pengungsi dan ketegangan global.
Sudan mengalami kekacauan akibat pertikaian internal yang telah mengakibatkan ribuan kematian dan pengungsi. Haiti juga terjebak dalam ketidakstabilan, dengan kekerasan geng yang merajalela dan krisis kemanusiaan.
Reaksi internasional datang dari berbagai negara. Meskipun ada seruan untuk gencatan senjata, pihak-pihak yang bertikai seperti Israel, Rusia, Ukraina, dan kelompok pendukungnya terus melanjutkan serangan.
Banyak negara berharap PBB dapat memberikan solusi mengatasi konflik, namun efektivitasnya sering dipertanyakan di tengah kesulitan memberikan tekanan yang diperlukan.
Berharap kepada PBB
Salah satu aktor internasional yang berperan penting dalam penyelesaian konflik adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB resmi dibentuk pada 24 Oktober 1945, setelah Piagam PBB ditandatangani di San Francisco oleh 50 negara pendiri, termasuk Indonesia.
PBB menggantikan Liga Bangsa-Bangsa sebagai badan internasional utama untuk menjaga perdamaian dunia, setelah Liga tersebut dianggap tidak efektif dalam mencegah Perang Dunia II yang dimulai pada tahun 1939. Liga Bangsa-Bangsa berhenti beroperasi secara resmi pada 18 April 1946.
Dalam sepekan ini, PBB menggelar Sidang Umum Ke-79. Setidaknya 133 kepala negara dan pemerintahan, tiga wakil presiden, 80 wakil perdana menteri, dan 45 menteri akan menghadiri acara yang berlangsung dari 24 hingga 30 September 2024.
Sidang Umum PBB diadakan setiap tahun di markas besarnya di New York, Amerika Serikat, dan kali ini mengusung tema "Tidak Meninggalkan Siapa pun: Bertindak Bersama untuk Kemajuan Perdamaian, Pembangunan Berkelanjutan, dan Martabat Manusia untuk Generasi Saat Ini dan Masa Depan."
Banyak harapan baik digantungkan pada ajang diplomatik akbar tersebut. PBB, sebagai organisasi internasional terbesar yang bertujuan menjaga perdamaian dan keamanan global, telah berulang kali mengeluarkan resolusi untuk menghentikan kekerasan di Timur Tengah.
Namun, banyak resolusi tersebut tidak dapat diimplementasikan karena veto yang sering kali diajukan oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB, seperti AS, yang merupakan sekutu utama Israel.
Hal ini menyebabkan stagnasi dalam menemukan solusi yang adil bagi konflik Israel-Palestina.
"Mayoritas pemimpin yang berbicara di PBB akan mengatakan bahwa sudah saatnya Dewan Keamanan direformasi," kata Richard Gowan, Direktur PBB untuk International Crisis Group.
"Tidak ada yang bisa berpura-pura bahwa Dewan Keamanan adalah organisasi yang berfungsi dengan baik. Mencapai reformasi dan bernegosiasi mengenai hal tersebut akan sulit, tetapi ada keinginan yang semakin besar untuk melihat perubahan."
Dewan Keamanan, yang didominasi oleh lima anggota tetap dengan hak veto: AS, Rusia, China, Prancis, dan Inggris, sering terjebak dalam konflik kepentingan mereka.
Veto Rusia menghalangi respons berarti terhadap perang di Ukraina dan Suriah, sementara AS melindungi Israel dari tekanan internasional saat perang Tel Aviv di Gaza terus berlanjut, membuat dewan tersebut tidak mampu bertindak. (Sumber : Antara).
0 Komentar